Selasa, 11 Maret 2008

RUU AP untuk Demokrasi

APLIKASI RUU AP akan memberikan batasan antara hak dan kewajiban warga negara dalam pemerintahan. Pelaksanaan isi dari RUU yang sedang digodok tersebut akan memberikan batasan peran masyarakat sebagai stakeholder utama dari negara.

Sesuai asas demokrasi,pemerintahan itu dari rakyat, oleh rakyat,dan untuk rakyat. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa yang menjadi salah satu masalah adalah akses masyarakat terhadap informasi.RUU AP setidaknya memberikan harapan besar untuk keikutsertaan masyarakat dalam proses pembuatan suatu kebijakan seperti tertera dalam pasal 19 dan 20 RUU ini. Pada pasal-pasal tersebut diatur mengenai hak masyarakat dalam dengar pendapat pada masa pembuatan suatu peraturan dan juga diatur mengenai hak untuk melihat dokumen administrasi yang selama ini terkenal sangat sulit diakses.

Pasal 19 dan 20 dalam RU inisetidaknya jikadigolkan dan dijalankan secara semestinya bisa menjadi sarana rakyat untuk mengontrol kinerja aparat birokrasi. Disahkannya RUU ini diyakini akan menjadi katalis untuk mencapai pola tata pemerintahan yang baik. Dengan adanya suatu hukum tertulis yang lebih teknis daripada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,masyarakat akhirnya menjadi lebih terdorong dan sadar untuk menggunakan haknya untuk turut serta dalam setiap proses kebijakan dan eksekusi kebijakan negara. Berdasarkan ketentuan di RUU tersebut,warga negara tidak hanya menjadi objek.Warga negara diposisikan sebagai subjek yang aktif terlibat dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan.

Untuk memberikan jaminan perlindungan kepada setiap warga, undang-undang ini memungkinkan warga masyarakat mengajukan keberatan, kepada instansi pemerintah yang bersangkutan, atau bahkan lebih jauh warga dapat mengajukan keberatannya hingga melalui Komisi Ombudsman Nasional. Hak-hak pengajuan gugatan terhadap keputusan dan atau tindakan instansi pemerintahan yang dirasa kurang pada tempatnya pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Selain itu,masyarakat bisa meng-counterpola pikir aparat pemerintah dengan pola pikir keterbukaan.

Selama ini keterlibatan masyarakat dalam pembuatan suatu keputusan hanyalah pada tahap academic writing dari suatu bakal kebijakan saja.Sementara kesempatan dengar pendapat sering kali terbentur mekanisme panjang pembuatan keputusan dan tidak adanya peraturan teknis yang cukup melindungi hak masyarakat. Namun, kekurangan dan kebolongan ternyata masih cukup banyak dalam RUU ini. Yang paling utama adalah kurangnya detil pelaksanaan UU ini. Kebanyakan pasal dalam RUU ini kurang memperhatikanmasalahteknispelaksanaannya.

Padahal,pada titik inilah bisa membuat pelaksanaannya tidak efektif. Perlu dibuatkan detail yang lebih jelas. Hal ini juga merujuk ke pola hukum kita yang merupakan pola hukum yang terkodifikasidenganrinciyang diadopsi dari pola hukum kontinental (civil law),bukannya hukum umum yang biasa dipakai bangsa Anglo-Saxon (common law). Dengan pola hukum itu rincian penjelasan atas hukum mutlak diperlukan untuk menghindari multiinterpretasiprodukhukum.

Kondisitersebut bisa menciptakan suatu kemacetan dalam pelaksanaan hukum atau mungkin lebih parahnya dianulir Mahkamah Konstitusi (MK). Pemerintah sebagai representasi rakyat sudah seharusnya prorakyat. Perbaikan ini tentunya akan membuat pemerintah menerima apresiasi yang lebih baik dari rakyat. Sektor ekonomi juga tentunya akanlebihtertarikuntukmelakukan investasi di Indonesia dengan kepastian hukum dan kemudahan birokrasi. (pangeran ahmad nurdin/litbang SINDO)

Read More..

Senin, 03 Maret 2008

Membuka Hubungan,Meretas Peluang

Kebutuhan alat utama sistem persenjataan (alutsista) Indonesia sangat mendesak. Pemerintah harus memilih negara yang paling menguntungkan.

Indonesia merupakan salah satu negara terbesar di dunia,baik dari segi populasi, potensi sumber daya alam, maupun potensi perkembangan ekonomi.Negara ini bahkan sempat mendapat julukan Macan Baru Asia sebelum akhirnya terpuruk oleh hantaman krisis ekonomi yang melumpuhkan sendi-sendi perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang terus membaik dan berada pada kisaran 6–7% per tahun menjadikan Indonesia sebagai negara yang potensial dan dilirik berbagai negara maju. Bukti nyata terhampar di depan mata kita.

Presiden Rusia Vladimir Putin bertandang pada September tahun lalu dengan menawarkan berbagai bantuan, termasuk tawaran pinjaman lunak sebesar USD1 miliar untuk peningkatan alat utama sistem persenjataan (alutsista) Indonesia. Setelah itu, Pangeran Akishino dari Jepang datang untuk memperingati 50 tahun hubungan Indonesia dengan Jepang.

Berbagai pemimpin negara lainnya juga datang untuk kepentingan masing-masing negara. Terakhir, kunjungan orang dari ring satu pemerintahan Amerika Serikat (AS),Menteri Pertahanan Robert Gates, memperkuat signifikansi peran Indonesia di dunia internasional. Kedatangan Robert Gates disambut baik pemerintah Indonesia disertai rencana pembelian alutsista dari negeri adikuasa tersebut.Pemerintah Indonesia berencana membeli beberapa pesawat untuk melengkapi skuadron F-16 yang sebelumnya sempat terbengkalai karena embargo yang dilakukan AS.

Arah pemikiran pemerintah tersebut menimbulkan tanda tanya besar mengenai skema pertahanan yang akan dibentuk. Embargo yang dilakukan AS pada pertengahan 1990-an telah membuat Indonesia beralih pada Eropa, khususnya Rusia, dan beberapa negara bekas pecahan blok timur lainnya.

Kepentingan AS

Kunjungan beberapa pejabat penting AS tentu menimbulkan pertanyaan besar. Sebelum Robert Gates, pada 2007 lalu menteri luar negeri Condoleezza Rice juga sempat mampir ke Tanah Air.Dapat dimaklumi bahwa dalam tiap kunjungan suatu negara ke negara lainnya untuk mengamankan kepentingannya.

Kepentingan dari segi ideologis mungkin sudah tidak begitu kentara pada saat ini. Bahkan, negara komunis sekelas Rusia dan China pun akhirnya takluk juga dengan terjangan kapitalisme seperti yang diramalkan Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History and the Last Man. Dari kacamata bisnis senjata, akan terlihat kepentingan AS sebagai pemain utama dunia.Hal tersebut yang menjadi salah satu alasan kunjungan petinggi AS ke Indonesia dalam menawarkan kerja sama alutsista.Bahkan, sebelum kunjungan, pihak AS mengawali dengan pencabutan embargo senjata.

AS saat ini memang tengah dilanda resesi ekonomi. Berbagai cara ditempuh untuk menambah pemasukan negara. Di sisi lain, pangsa pasar (market share) AS dalam penjualan senjata ke berbagai negara dunia ketiga mengalami penurunan yang signifikan. Jika sebelumnya pada 2000–2003 sempat menguasai pangsa pasar di atas 40%,pada 2005 AS hanya mampu melakukan kesepakatan penjualan senjata sebesar 20%.

Kondisi sebaliknya terjadi pada Rusia yang sebelumnya hanya berkutat di pasar Eropa Timur yang umumnya negara bekas pecahannya. Jika pada 1998 hanya mampu menguasai pangsa pasar sebesar 9%, pada 2005 Rusia mampu menguasai hingga sebesar 23%, mengungguli AS dengan nilai perjanjian mencapai USD7 miliar.

Memanfaatkan Peluang

Posisi Indonesia sekarang sangat menguntungkan.Kedatangan Vladimir Putin dan Robert Gates yang keduanya menawarkan alutsista harus dipandang sebagai peluang bagi Indonesia. Pemerintah harus mengambil pilihan yang paling menguntungkan bagi kepentingan bangsa ini, baik dari kepentingan mendapatkan alutsista dengan harga paling murah, kesempatan alih teknologi,maupun kesempatan mempererat hubungan bilateral.

Dari segi harga dan spesifikasi, jelas tawaran dari Rusia lebih menguntungkan.Harga yang ditawarkan untuk alutsista asal Rusia cenderung lebih murah daripada barang sekelas buatan AS (lihat grafis). Namun, hal paling utama yang harus menjadi bahan pertimbangan Indonesia adalah sikap AS sebagai negara adikuasa yang cenderung semaunya. Hal itu bisa dilihat pada gambaran embargo senjata yang pernah dilakukan terhadap Indonesia.Beda dengan Rusia yang cenderung menerapkan sistem jual putus terhadap barangnya dan aura kepentingan politiknya cenderung lebih sedikit. Mungkin permasalahan utama yang juga dihadapi Indonesia dalam membeli senjata dari Rusia adalah bahasa.

Masalah bahasa ini sempat menjadi hambatan utama ketika sebelumnya pada 2003 Indonesia membeli dua pesawat Rusia,yaitu Su-27 dan Su-30. Perangkat lunak dan manual kedua pesawat tersebut menggunakan bahasa Rusia.Namun, masalah tersebut dapat dipecahkan dengan pengiriman beberapa teknisi dan pilot untuk dilatih khusus di Rusia. Keuntungan lain yang mungkin dapat diraih adalah masalah alih teknologi.Amerika sejak dulu terkenal pelit dalam membagi teknologinya, apalagi teknologi persenjataan.

Berbeda dengan Rusia yang tak segan-segan memberikan lisensi dan melakukan alih teknologi ke negara- negara sahabatnya. Keuntungan tersebut telah dirasakan Iran,Irak,India, Pakistan, Korea Utara, dan China. Negara-negara tersebut telah mampu mengembangkan senjata atas dasar alih teknologi dari Rusia. Potensi transfer teknologi tersebut kemungkinan besar bisa dimanfaatkan karena Indonesia telah mempunyai industri dasar yang bisa dikembangkan. Industri tersebut seperti Dirgantara Indonesia di bidang aeronautik,Pindad di bidang senjata darat, dan PAL di bidang senjata laut.

Tentunya keputusan ini harus dipertimbangkan secara matang oleh para pengambil keputusan bangsa.AS bagaimanapun memiliki hubungan yang panjang dengan Indonesia. Di sisi lain, Rusia ingin kembali mengulang kenangan manis pada masa Orde Lama, tentunya bukan dalam kerangka ideologis. Jangan sampai bangsa ini terperosok ke lubang yang sama untuk kedua kalinya dan akhirnya merugikan kepentingan bangsa. (pangeran ahmad nurdin/ litbang SINDO)

Dimuat pada Harian Seputar Indonesia edisi Senin, 3 Maret 2008

Read More..

Senin, 25 Februari 2008

Mahalnya Hasrat Politik

KELAHIRAN ratusan parpol baru cerminan pertumbuhan demokrasi sekaligus kegagalan artikulasi ide di tingkatan elite. Undang-Undang (UU) No 2/2008 tentang Partai Politik telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

UU ini merupakan salah satu bagian dari paket UU politik yang mengatur tentang partai politik dan pemilihan umum (pemilu).Pengesahan UU ini menjadi landasan konstitusional keberadaan partai politik di Indonesia. Kini, tak kurang dari seratus partai telah mendaftarkan diri ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham). Jumlah tersebut cukup banyak sekalipun tak sebanyak sebelum Pemilu 2004 yang mencapai lebih dari 200.

Beberapa partai hanya berganti nama dari partai yang tak mencapai electoral threshold pada Pemilu 2004, beberapa lainnya hanya partai baru yang dihiasi wajah lama. Hanya segelintir yang berisi orangorang baru dengan ide dan perspektif yang berbeda dalam memandang persoalan bangsa ini. Seratus partai baru tersebut akan diverifikasi Depkumham sesuai UU No 2/2008 untuk menentukan kelayakannya mengikuti Pemilu 2009.

Jika dipandang layak,mereka akan bertarung memperebutkan hati rakyat dengan segala bunga-bunga janji bersama tujuh partai yang sudah lolos terlebih dahulu. Partai-partai tersebut, antara lain Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Persatuan Pembangunan (PPP),Partai Demokrat (PD), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN),Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Pembentukan partai baru memang sesuai Undang- Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28 yang mengatur kebebasan berserikat dan berkumpul.

Kebebasan ini pula yang menjadi salah satu fondasi demokrasi. Hal ini terbukti pada masa pemerintahan Orde Baru (Orba) yang sangat represif terhadap partai politik dan segala macam bentuk kebebasan politik. Pada awal 1971, persis sebelum pelaksanaan Pemilu 1971, partai-partai yang ada dipaksa untuk melakukan fusi menjadi 10 partai saja. Keadaan yang tak memungkinkan terjadinya konsolidasi membuat kemenangan mutlak diraih partai Golkar dengan meraup 236 kursi yang berarti 54,3% kursi di DPR.

Jika digabungkan dengan kursi fraksi ABRI sebanyak 75 kursi (17,2%), totalnya berjumlah 311 kursi atau 71,5% yang dikontrol langsung oleh penguasa Orde Baru (lihat grafis). Fusi jilid kedua dilanjutkan pada 1973 yang menggabungkan sembilan partai hingga tinggal dua partai, PDI dan PPP. Dalam bahasa Orba saat itu ada dua partai dan satu golongan. Golkar memperoleh fasilitas dan keistimewaan yang luar biasa hingga menjadi partai penguasa hingga Pemilu 1997 (lihat grafis). Golkar melenggang sendiri mengamankan fondasi rezim Orba,meninggalkan PDI dan PPP. Pola tersebut bertahan hingga 1998 bersamaan dengan runtuhnya rezim otoritarian Orba.

Kegagalan Elite Politik

Sekalipun menjadi gambaran kebebasan berserikat di Indonesia, menjamurnya partai baru juga menjadi potret kegagalan elite politik bangsa untuk bersatu.Hasrat politik yang menggebu-gebu menjadikan persatuan partai-partai yang ada dalam satu platform menjadi hal yang mustahil.

Yang terjadi justru perpecahan yang tak berkesudahan. Bak menjadi tren,kongres yang dilakukan berbagai partai menjadi lonceng tanda perpecahan partai. Hal ini dialami baik oleh partai besar maupun kecil. Reformasi mendorong munculnya partai bak cendawan di musim hujan. Bahkan, pada 1999 terdaftar ada lebih dari 200 partai yang ingin ikut pemilu sekalipun hanya 48 yang lolos verifikasi. Masing-masing partai bersaing tanpa ada tekanan untuk fusi dari pemerintah. Namun, kekhawatiran mengenai banyaknya partai sudah mulai merebak.

Para pengamat berharap dengan berjalannya waktu, partai akan melakukan fusi secara alamiah. Jika kita coba merujuk pada kebiasaan berdemokrasi di luar negeri,kita akan temukan berbagai macam fusi maupun koalisi dilakukan partai.Partai-partai yang memiliki kesamaan platform akan melakukan aliansi dalam satu barisan sehingga menciptakan suatu kekuatan politik yang signifikan. Barisan Nasional di Malaysia dapat menjadi rujukan yang baik untuk masalah ini.

Kalaupun ada yang tidak beraliansi, itu pun dengan alasan ketidakcocokan platform yang diambil. Kekhawatiran akan fenomena terus menggelembungnya jumlah partai inilah yang disiasati dengan usulan menaikkan electoral threshold dalam RUU pemilu yang tak kunjung selesai digodok para anggota DPR. Pola tersebut diharapkan menjadi sarana untuk melakukan seleksi partai-partai di Indonesia karena sistem alamiah terbukti tak mampu meredam hasrat politik yang menggebugebu tersebut.

Padahal, dalam sistem multipartai yang dianut seperti sekarang ini, tetap dibutuhkan beberapa partai yang besar. Partai-partai di Indonesia sendiri umumnya hanya ada dalam beberapa platform yang sering kali tumpang tindih satu sama lain. Berbagai paham dan aliran yang ditawarkan partai-partai tersebut akhirnya membuat rakyat kebingungan. Hasilnya mudah ditebak, sudah menjadi pakem bahwa di tengah keraguan, masyarakat akan cenderung memilih partai yang sudah familier.

Banyaknya partai akhirnya jadi kontraproduktif dari tujuan awal para pendiri partai tersebut yang umumnya mulia, yaitu memberikan perubahan bagi Indonesia. Akhirnya, suara dari rakyat terbuang secara percuma karena tersebar dalam berbagai partai kecil yang tak mampu merengkuh kursi di DPR.Kalaupun meraih kursi, itu hanya dalam jumlah kecil sehingga tak mampu membuat perubahan yang signifikan dalam konfigurasi politik di DPR dan Indonesia secara umum.

Koalisi “Aneh bin Ajaib”

Pola koalisi partai di Indonesia menambah kerut di dahi mempertanyakan keanehannya. Ketika fusi tak juga dapat tercapai sekalipun berdiri di atas platform yang sama, pola koalisi yang dipertontonkan partaipartai menjadi kontradiksi yang mutlak.

Pola ini terutama terjadi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Partai-partai saling berkoalisi lintas platform.Beberapa partai dengan platform agama dapatberkoalisidenganpartai lain yang berbeda dasar agamanya. Partai dengan platform Pancasila dapat bersandingdenganpartaisosialis.

Pola koalisi antardaerah pun berbeda-beda. Jika di satu pilkada partai dapat berkoalisi, di daerah lainnya partai-partai tersebut dapat saling berjibaku. Dagelan paling mutakhir dipertontonkan pada Pilgub Jakarta pada Agustus lalu. Hampir semua partai tanpa mengindahkan platform berkoalisi dalam satu barisan menghadapi satu partai lainnya. Pertanyaan mendasar, apakah para elite politik tersebut benar-benar membuat partai atas dasar ketidaksamaan partai? Ataukah kenyataan tersebut menggambarkan hasrat politik yang tak dapat disalurkan lewat partai-partai yang sudah ada? (pangeran ahmad nurdin/litbang SINDO)

Dimuat pada Harian Seputar Indonesia edisi Senin, 25 Februari 2008

Read More..

Senin, 18 Februari 2008

Mengurai Sistem,Menyulam Demokrasi

Pilkada sebagai salah satu keberhasilan demokrasi menuai banyak kekecewaan.Perbedaan dan kekecewaan harus dihadapi lebih dewasa. Simplifikasi sistem mutlak diperlukan.

SILANG sengkarut pelaksanaan beberapa pemilihan kepala daerah (pilkada) akhirakhir ini membuat banyak pihak meragukan keefektifannya. Berbagai tudingan diarahkan ke konsep pilkada langsung.Banyak yang menganggap konsep ini memakan biaya material (material cost), biaya sosial (social cost), dan kesempatan (opportinity cost) yang terlalu besar untuk bangsa yang tengah bangkit ini.

Segelintir lainnya terjebak dalam berbagai ketidakpuasan yang diakhiri dengan bermacam konflik.Pilkada di satu sisi mengembuskan semilir sejuk angin demokrasi, sementaradisisilainmenggelontorkan masalah instabilitas dan pemborosan anggaran. Banyak pihak kembali bernostalgia pada stabilitas politik yang menjadi jualan utama pemerintahan Orde Baru (Orba).Namun, tak kurang pula bermacam ksatria demokrasi mati-matian membela konsep ini.

Pilkada langsung bagi kelompok ini dijadikan cerminan keberhasilan demokrasi Indonesia. Polemik sah-sah saja terjadi dalam hal persetujuan terhadap kelanjutan pelaksanaan pilkada langsung.Tapi, semuanya tentu harus merujuk ke arah demokrasi yang tengah kita bangun bersama. Adu wacana yang terjadi jangan sampai membuat kita terjerembab dalam goronggorong demokrasi atau jatuh ke otoritarianisme yang pernah ada pada Orde Baru.

Sampai saat ini sudah dilangsungkan 479 pilkada langsung di Indonesia, terdiri dari 459 pilkada tingkat kabupaten/ kota dan 20 tingkat provinsi. Ke depan masih ada sekitar 161 pilkada yang akan dihadapi bangsa ini pada 2008. Sebanyak 13 tingkat provinsi dan 148 tingkat kabupaten/ kota (lihat grafis). Persiapan, pengorbanan besar, serta kebesaran hati dari seluruh bangsa diperlukan untuk menghadapinya.

Simplifikasi Tahapan

Dari awal dikeluarkannya Undang-Undang (UU) No 32/ 2004 mengenai Pilkada,rangkaian hajatan ini sudah menuai begitu banyak protes.

Aturan yang menjelaskan bahwa pilkada bukanlah pemilihan umum (pemilu) membuat banyak kalangan gelenggeleng kepala.Namun, akhirnya pola ini bisa diterima, dengan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) tingkat provinsi atau kabupaten/ kota yang menjadi penanggung jawab tertingginya. Keanehan muncul pada UU No 22/2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu. Di sana ditekankan bahwa ada hubungan hierarkis antara KPU pusat dengan KPUD.

Hasilnya adalah seperti yang terjadi pada hasil Pilkada Maluku Utara. Kisruh dan kebingungan terjadi ketika KPU Pusat menganulir keputusan KPUD Maluku Utara. Masalah lain juga muncul dalam kisruh Pilkada Sulawesi Selatan yang berujung pada pilkada ulang di empat kabupaten. Sebenarnya dua-duanya sah-sah saja untuk dilakukan. Namun,ketika kedua produk hukum bertabrakan, yang tercipta adalah kebingungan seperti yang terjadi dalam kasus Maluku Utara tersebut. Pemerintah harus lebih jelas dan tegas dalam melihat masalah ini.

Jangan sampai kesalahan yang mungkin saja tidak disengaja tersebut menghambat demokrasi bangsa yang besar ini. Memang, pilkada di Indonesia sangat panjang dan melelahkan. Bahkan, usulan untuk mendorong penghapusan pilkada ataupun pemilihan kepala daerah cukup oleh DPRD provinsi atau kabupaten/kota itu sah-sah saja. Namun, sebelum jauh melangkah, ada baiknya kita berkaca pada sejarah masa lalu yang menggambarkan besarnya pengaruh pola patrimonial dalam politik Indonesia. Lagi pula, usulan tersebut adalah sebuah langkah yang lari dari esensi masalah.

Kredo dasar dalam memecahkan masalah adalah cari akar masalahnya,perbaiki kekurangannya. Tentunya yang diinginkan tiap warga daerah adalah pemimpin yang mewakili kepentingannya. Jika lewat mekanisme DPRD, akan terjadi banyak distorsi.Yang paling kelihatan dan mungkin terjadi adalah distorsi kepentingan dari partai politik dan pemerintah pusat.Keduanya secara substansi akan mengembalikan Indonesia ke pola sentralistis.

Tampaknya kita sudah cukup kenyang pengalaman akan kebijakan sentralistis. Pola ini cenderung menggeneralisasi Indonesia yang bercorak. Ujung-ujungnya kebijakan yang diterapkan tak sesuai kebutuhan daerah. Hal yang sama akan sangat mungkin terjadi dalam pemilihan kepala daerah. Untuk mempersingkat,bisa dicoba pilkada berbarengan tiap provinsi.Jadi,seluruh tahapan pilkada kabupaten/ kota dan provinsi digabung dalam satu waktu tertentu. Pola ini nanti bisa mengurangi risiko sosial dan material. Maka, masyarakat hanya disuguhi tiga kali pemilihan, yaitu pilkada, pemilu legislatif, dan pemilu presiden-wapres.

Tentunya hal tersebut membutuhkan produk hukum untuk memayunginya. Satu lagi yang perlu diingat, jika pilkada dihilangkan, kita perlu mengucapkan selamat tinggal pada calon independen. Jika kepala daerah dipilih melalui DPRD, tentu calon yang beredar adalah orang-orang partai atau setidaknya calon nonpartai, tetapi terdistorsi berat oleh kepentingan partai yang cenderung sentralistis.

Demokrasi, Pembangunan, dan Stabilitas Politik

Vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan), frase inilah yang menjadi salah satu dasar berharganya suara rakyat dalam demokrasi. Ungkapan yang dipopulerkan William of Malmesbury –sejarawan Inggris abad ke- 12– ini menimbulkan perdebatan yang panjang.

Alcuin dan Charlemagne, pahlawan Prancis pada masa lalu, pernah juga berkesimpulan bahwa suara rakyat tak selalu benar dan merupakan ekspresi Tuhan di muka bumi. Perdebatan berakhir tanpa ujung,apakah memang suara rakyat itu selalu baik atau bisa salah dan berakhir buruk. Dalam demokrasi, suara rakyat adalah dasar dari segala hal dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Akar kata demokrasi yaitu demos (rakyat) dan cratein (pemerintahan), yang juga dianut Indonesia, menegaskan pentingnya pendapat masyarakat.

Masalah perbedaan bisa berujung pada instabilitas politik memang sangat mungkin terjadi.Namun,yang perlu dipertanyakan adalah apakah perlu untuk mengorbankan demokrasi itu sendiri. Lucien W Pye dalam bukunya Aspects of Political Development (1966) memberikan beberapa indikator keberhasilan pembangunan.

Paling utama dari semuanya adalah masalah stabilitas politik. Nah, inilah yang menjadi pilihan Orde Baru dengan mengorbankan stabilitas politik. Pertanyaannya, bagaimana seharusnya menghadapi konflik? Di sinilah peran partai politik diperlukan.Partai politik dalam skema demokrasi adalah aktor manajemen konflik sekaligus sarana artikulasi suara masyarakat yang menjadi inti dari demokrasi. Partai politik harus menjadi pelepas dahaga akan stabilitas bagi bangsa ini. (pangeran ahmad nurdin/ litbang SINDO)

Dimuat pada Harian Seputar Indonesia hari Senin, 18 Februari 2008

Read More..

Jumat, 15 Februari 2008

Intensifikasi dan Pertumbuhan Penduduk

MASALAH kenaikan penduduk yang berkorelasi positif dengan kenaikan kebutuhan pangan telah lama dikenal. Bahkan,keduanya sering kali berkorelasi dengan ketakutan manusia postindustrial yang mempercayai adanya hubungan sebab akibat antara pertumbuhan penduduk, kemiskinan,dan kelaparan.

Thomas Malthus secara pesimistis menggambarkan konsep tersebut dalam bukunya yang berjudul Priciple of Population (1798). Demografer asal Inggris ini menggambarkan bahwa pertumbuhan produksi pangan selalu tumbuh dalam deret aritmetika, sedangkan populasi berkembang dalam deret ukur. Singkat kata, pertumbuhan produksi pangan takakan mampu mengimbangi laju pertumbuhan penduduk.

Hasilnya adalah kelaparan. Namun, pandangan Malthus tersebut diadu oleh Ester Boserup (1965) yang menjelaskan bahwa peningkatan jumlah penduduk akan mendorong intensifikasi pertanian. Keduanya tak bisa disalahkan atau dibenarkan sepenuhnya. Seperti yang kita ketahui tentang tak adanya kebenaran mutlak dalam ilmu pengetahuan, begitulah adanya juga dengan kedua paradigma tersebut.

Pendapat Malthus sedikit banyak tergambar dengan kondisi Indonesia saat ini. Produksi pangan nasional tidak dapat mengikuti pesatnya pertumbuhan penduduk Indonesia. Akhirnya pemerintah tergantung pada ekspor yang harganya sangat rentan. Harga melambung tinggi akibat goyangnya pasar membuat beberapa produk pangan tak lagi tergapai masyarakat kecil.

Namun, di lain pihak, pendapat Boserup telah memiliki tempat sendiri lewat program swasembada pangan yang pernah dilakukan. Berbagai teknologi diperkenalkan untuk meningkatkan hasil pertanian hingga Indonesia mencapai swasembada pangan, sekalipun hasil yang diciptakan jadi buruk karena pelaksanaan yang tidak konsisten.

Sekarang Indonesia memiliki kedua masalah tersebut. Indonesia dikenal sebagai negara yang subur, baik pertumbuhan penduduknya maupun tanahnya.Keduanya menguntungkan dari kedua sudut pandang. Indonesia bisa mengembangkan pertanian melalui tanahnya yang luas sekaligus memanfaatkan SDM yang melimpah. (pangeran ahmad nurdin/litbang SINDO)

Read More..

Selasa, 13 November 2007

TNI Semakin Menggiurkan

TNI yang terus berkembang ternyata bagaikan lampu yang berpendar di tengah malam gelap yang dikerubungi laron yang tertarik akan cahaya yang dipancarkannya.

Jika di masa lalu militer didekati karena akses bisnisnya yang sangat luas dan nyaris tak tersentuh, sekarang TNI didekati karena uangnya yang semakin banyak.Dahulu,bisnis militer bagaikan gurita dan nyaris tak tersentuh lembaga pemantau baik dari pemerintah atau dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Anggaran pertahanan yang terus membesar dari tahun ke tahun membuat TNI serta Dephan sebagai lembaga pengontrolnya berubah menjadi ladang potensial bagi para pebisnis. Berbagai macam kesempatan bisnis ditawarkan dengan kian membesarnya anggaran TNI. Pada 2004 saja, militer lewat Dephan mendapat jatah Rp21 triliun. Angka tersebut naik cukup signifikan hingga mencapai sekitar 400% dibanding pada 2000.

Pada tahun itu pemerintah hanya mengalokasikan dana sebesar Rp5,4 triliun untuk pos militer. Kenaikan tersebut dalam rangka program profesionalisasi militer yang sedang digalakkan seiring isu reformasi di segala bidang yang sedang digiatkan. Terakhir, dalam RAPBN 2008 yang telah disahkan DPR, Dephan mendapat jatah anggaran mencapai Rp33,7 triliun. Angka tersebut sedikit meningkat dibanding anggaran pada 2007 sebesar Rp31,5 triliun.

Angka-angka tersebut masih jauh dari cukup dan terkesan sangat kecil dibanding negara-negara jiran. Ketidakmampuan pemerintah menjadi alasan utama. Pada 2005 saja Dephan mengajukan anggaran sebesar Rp45 triliun, tetapi yang disetujui hanya Rp23 triliun. Kondisi kurang lebih serupa terulang pada 2006.Pada saat itu,Dephan mengajukan Rp56 triliun, tapi hanya mendapat Rp28 triliun. Bahkan, Dephan merencanakan anggaran sebesar Rp141 triliun untuk masa anggaran 2009. Demikian pula dari segi bisnis besaran anggaran yang mencapai triliunan rupiah ini tetap menggiurkan.

Terlalu Banyak Beban

Konsep fokus pertahanan Indonesia sekarang sudah berubah dari yang sebelumnya pada angkatan darat sekarang ke angkatan laut. Hal tersebut terkait persepsi ancaman dan kondisi Indonesia yang merupakan negara maritim. Saat ini, Indonesia menerapkan persepsi melihat ke dalam (inward looking). Potensi ancaman pada negara ini dianggap relatif datang dari dalam negeri sendiri. Potensi tersebut, di antaranya terorisme, penyelundupan (smuggling), penebangan ilegal (illegal logging), isu separatisme.

Potensi ancaman untuk perang nyaris dikesampingkan karena sekalipun terjadi beberapa kali ketidaksepahaman dengan negara- negara tetangga, dianggap tidak akan mengakibatkan perang. Untuk menjaga Indonesia dari berbagai potensi ancaman tersebut, TNI beroperasi dengan konsep Tri Matra Terpadu. Konsep ini merupakan bentuk kerja sama antara masing-masing matra dalam mengamankan wilayah Indonesia. Namun, ternyata beban yang disokong TNI melebihi kemampuan topangan anggaran yang dikucurkan.

Dalam Rencana Strategi Pembangunan Pertahanan Negara 2005–2009 pada Tahun Anggaran 2007, Dephan dan TNI membutuhkan anggaran minimal Rp74,479 triliun. Namun, yang terealisasi hanya Rp31,5 triliun. Dana tersebut digunakan untuk belanja pegawai sebesar Rp12,6 triliun, belanja barang Rp8,4 triliun, dan belanja modal Rp10,1 triliun. Kondisi tersebut menyebabkan kebutuhan kekuatan minimal (minimum essential force) sebesar 0,4% dari penduduk tak dapat terpenuhi. Dampaknya adalah tugastugas TNI dalam rangka menegakkan kedaulatan dan keutuhan NKRI terganggu. (pangeran ahmad nurdin/ litbang SINDO)


*Dimuat di Harian Seputar Indonesia edisi 5 November 2007

Read More..

Saatnya Kaum Hawa Unjuk Gigi

Dari zaman RA Kartini, tokoh rekaan Sitti Noerbaja, perempuan berada pada posisi yang tidak menguntungkan.Penyematan stereotip gender sudah layak diperdebatkan. Sejarah panjang patriarki dan aroma kental maskulinitas dalam kehidupan sosial membuat perempuan Indonesia bak dipasangi tali kekang pengikat.

Kaum hawa diperlakukan layaknya gadis kecil yang baru diberi sedikit kebebasan oleh orangtuanya. Kondisi yang kurang menguntungkan tersebut hanya mampu membuka sedikit peluang bagi perempuan di Indonesia. Politik merupakan salah satu bidang yang kerap dijauhkan dari sentuhan tangan perempuan. Patriarki sendiri adalah konsep yang melebih-lebihkan perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, memastikan bahwa laki-laki akan selalu dominan.

Selain itu, perempuan akan selalu mendapatkan peranan yang lebih rendah (Kate Millet, 1970). Doktrin utama patriarki menjelaskan,perempuan berpikir dengan rasa sedangkan laki-laki dengan akal.Konsep yang tampaknya sangat patut untuk diperdebatkan. Perempuan memang menempati posisi yang sangat tidak menguntungkan. Tengoklah kisah Raden Ajeng (RA) Kartini dan Raden Dewi Sartika serta tokoh novel rekaan Sitti Noerbaja yang menjadi potret umum kondisi bangsa ini prakemerdekaan. Sejarah memang pernah mencatat kehadiran perempuan menjadi pemimpinnya dalam sosok mantan presiden Megawati Soekarnoputri. Namun selain nama itu kelihatannya masih sulit bagi kita untuk membanggakan tokoh perempuan dalam sektor publik.

Miskin Representasi

Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi demokrasi. Bahkan dalam Undang- Undang Dasar (UUD) 1945 dijamin hak setiap warga negara dalam politik tanpa kecuali.Perempuan pun memiliki hak sama besar dengan laki-laki dalam tiap peri kehidupan di Indonesia. Namun kenyataan yang ada dan berbagai hambatan sistemik maupun kultural jelasjelas menghambat kemajuan peran perempuan untuk maju ke area publik, minimal untuk mewakili golongannya.

Padahal, dalam demokrasi dengan mode politik perwakilan, harusnya ada representasi tiap kelompok agar bagian-bagian dalam masyarakat Indonesia yang multikultur ini dapat terdengar pendapatnya. Chantal Mouffe, seorang ilmuwan politik, dalam Politics and the Limits of Liberalism menegaskan masalah identifikasi tersebut. Konsepnya menjelaskan, dalam kewarganegaraan terdapat identifikasi dalam bentuk tipe identitas politik. Identifikasi tersebut merupakan suatu bentuk rekayasa sosial (form of identification, a type of political identity; something to be constructed, not empirically given, Mouffe, 1992).

Rekayasa sosial inilah yang sering kali diterima mentah-mentah oleh masyarakat. Dalam teori itu Mouffe secara gamblang menjelaskan betapa perlunya representasi perempuan pada posisi pengambil keputusan. Baginya, rekayasa sosial itu diterima masyarakat dalam bentuk identitas. Identitas sendiri merupakan suatu kumpulan stereotip yang melekat dalam individu. Stereotip ini sangat memengaruhi tingkah laku individu karena berisi penilaian tentang sifat dan sifat dari suatu identitas, termasuk di dalamnya berbagai norma.

Teori tersebut jelas menggambarkan bahwa perwakilan dari perempuan adalah mutlak diperlukan. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga perwakilan tertinggi di Indonesia ternyata dalam sejarahnya hanya pernah menjadi kantor bagi sedikit perempuan Indonesia. Pada awal DPRS (Dewan Perwakilan Rakyat Sementara), hanya terdapat 9 perempuan dari total 245 anggota Dewan (lihat grafis). Angkanya sedikit bertambah pada masa 1956– 1960 yang mencapai 17 orang dari 289 anggota.Angka tersebut selalu naik sedikit-sedikit, tak sebanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjenis kelamin perempuan.

Kisaran persentase anggota legislatif perempuan berkutat di bawah angka 10%. Rekor tertinggi perwakilan perempuan dicapai pada periode 1987–1992 sebanyak 65 orang anggota perempuan yang berarti 13% dari keseluruhan anggota Dewan yang berjumlah lima ratus orang. Saat ini ada 11,3 % anggota perempuan di DPR alias berjumlah 61 orang. Kondisi serupa juga ditemukan pada Dewan Perwakilan daerah (DPD). Saat ini hanya ada 27 orang anggota DPD perempuan (22%) yang lolos dari total 128 bangku yang tersedia di DPD. Jauh dibanding anggota laki-laki yang mampu meloloskan 101 orang (78%) di lembaga legislatif representasi daerah ini.

Setali tiga uang kondisi di lembaga eksekutif. Saat ini hanya 10% eselon satu dijabat kaum perempuan, sedangkan hanya 6% yang menjadi pejabat eselon dua. Untuk hakim, ada 24% hakim perempuan dan 26% jaksa (Pusat Pemberdayaan Perempuan). Angka tersebut sudah cukup baik dibandingkan saat awal perjuangan bangsa ini setelah kemerdekaan. Bahkan, dari 21 anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) saat itu tak beranggotakan satu pun perempuan. Namun, angka-angka jumlah perwakilan itu bagaimanapun masih jauh dari cukup. Total pemilih yang terdaftar pada pemilu 2004,perempuan mencapai 53% dan laki-laki 47%. Sudah semestinya angka keterwakilan perempuan lebih besar dari angka di atas.

Perlu Affirmative Action

Sistem yang berlaku saat ini memang sudah cukup mengakomodasi kepentingan masuknya perempuan ke dalam tataran posisi policy making. Namun, ketimpangan dan belum siapnya masyarakat membuat harus dipikirkan suatu cara untuk mendorong peran perempuan dalam politik Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dalam bentuk tindakan afirmatif (affirmative action) untuk menyejajarkan posisi saing antara laki-laki dan perempuan.Tindakan itu bisa dalam bentuk memudahkan calon perempuan atau pemberian berbagai macam insentif.

Tindakan tersebut sekalipun masih diperdebatkan secara sengit, setidaknya dapat dipahami karena ketimpangan posisi start antara perempuan dan laki-laki. Selama ini laki-laki telah menerima berbagai keuntungan dari stereotip yang dialamatkan kepada masing-masing laki-laki dan perempuan. Kondisi tersebut dapat kita lihat dengan jelas dalam pencalonan anggota legislatif pada Pemilu 2004.

Dalam rangka memenuhi prasyarat kuota keterwakilan perempuan dalam daftar bakal calon, banyak partai yang mampu memenuhi kuota 30% yang disyaratkan pemerintah. Namun, ada delapan partai yang angkanya hanya mendekati prasyarat dari pemerintah tersebut. Saat itu, rata-rata persentase nominasi perempuan dari seluruh parpol peserta pemilu mencapai 32,2% atau sejumlah 2.507 calon legislatif (caleg) perempuan dari total 7.756 caleg yang terdaftar (CETRO).

Namun ternyata, dari 2.507 caleg perempuan tersebut hanya 62 orang yang mampu lolos ke DPR atau sebanyak 2,5% dari calon yang maju. Sebaliknya, persentase yang lebih besar akan kita dapat dari caleg laki-laki. Dari 5.256 caleg yang maju, 487 di antaranya sukses menjadi anggota DPR. Berarti 9,3% caleg laki-laki mampu menjadi anggota DPR. Saat itu pun pemenuhan kuota calon perempuan layaknya formalitas saja. Umumnya caleg perempuan ditempatkan pada nomor urut bawah (nomor kaki), sehingga ketika suaranya tak mencapai bilangan pembagi pemilih (BPP) kesempatannya untuk terpilih menjadi anggota DPR sangat minim.

Seharusnya pemerintah mengaplikasi sistem kuota yang lebih ketat dalam perwakilan perempuan. Pemerintah bisa saja memberikan insentif bagi partai atas tiap anggota DPR perempuan yang lolos. Jika dahulu partai mendapat Rp21 juta dari tiap caleg yang lolos ke DPR, nantinya bisa jadi insentif diperbesar. Perempuan juga harus lebih padu dalam memperjuangkan haknya. Dalam konteks ini, ada baiknya perempuan membentuk suatu kaukus dalam mengedepankan kepentingan perempuan. Kaukus perempuan akan berisi perempuanperempuan yang berada pada posisi decision making. Kaukus ini sangat berguna karena selama ini pemahaman perempuan mengenai perjuangan perempuan menghadapi patriarki belumlah sama. (pangeran ahmad nurdin/ litbang SINDO)

Read More..

Jumat, 26 Oktober 2007

Rencana Pembangunan Jembatan Penghubung Selat Sunda: Biaya Tinggi Solusi Ringkas

Pelabuhan Merak dan Bakauheni tak sanggup lagi melayani volume penyeberangan dari Pulau Jawa ke Sumatera. Jembatan penghubung dua pulau bisa menjadi solusi.

Kepadatan penyeberangan dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera dari tahun ke tahun terus meningkat. Signal Pelabuhan Merak sudah tak sanggung lagi memenuhi kebutuhan penyeberangan tampak pada pertengahan Juli hingga September lalu. Saat itu, truk-truk yang ingin menyeberang ke Sumatera harus antre berjam-jam, bahkan berhari-hari.

Pelabuhan yang menjadi urat nadi hubungan darat antara Jawa dan Sumatera tersebut terengah-engah memenuhi kebutuhan penyeberangan yang membludak disaat banyak ferri sedang masuk galangan. Banyak pihak dirugikan mulai dari operator truk, pengusaha yang menunggu kiriman barang hingga operator tol Jakarta-Merak yang mengalami kerugian hingga Rp140 juta per hari. Kerugian total sebagai dampak langsung mau pun tak langsung diperkirakan mencapai ratusan miliar rupiah.

Jika kejadian tersebut terulang, yang menjadi taruhan adalah mandegnya pertumbuhan ekonomi terutama daerah-daerah di Pulau Sumatera. Kemacetan pernah mencapai rekor terpanjang hingga 17 km. Pihak Pelabuhan Merak sampai pontang-panting mengerahkan enam kapal bantuan untuk mengatasi kemacetan tersebut.

Kejadian ini menimbulkan pertanyaan mengenai kesanggupan sarana penyeberangan yang menjadi urat nadi hubungan Jawa-Sumatera. Jangan sampai ketidakmampuan tersebut menjadi penghambat kebutuhan sektor ekonomi kita.

Jika menilik data volume penyeberangan dari Pelabuhan Merak hingga Bakauheni dari 1997 hingga 2006 yang terus meningkat, pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS) menjadi alternatif prospektus untuk memecahkan permasalahan tersebut.

Dari 1997 hinga 2006 permintaan penyeberangan kendaraan roda empat atau lebih meningkat 20% atau dari 1.845.387 kendaraan per tahun (1997) menjadi 2.219.075 kendaraan per tahun (2006). Bahkan kendaraan roda dua meningkat pesat 482% dari 56.149 kendaraan (1997) menjadi 327.084 (2006). Peningkatan jumlah kendaraan yang menyeberang equivalen dengan meningkatnya muatan. Jika pada 1997 hanya 6.794.969 ton kargo, pada 2004 muatan yang menyeberang mencapai 8.025.256 ton kargo atau naik 18%.

Berdasarkan data administrator pelabuhan Merak dan Bakauheni, tren pertumbuhan penyeberangan antarpelabuhan tiap tahunnya meningkat. Kedua pelabuhan saat ini dilayani 24 kapal roll on roll over (ro-ro). Rata-rata memiliki daya angkut 110 kendaraan per trip. Setiap kapal mampu melakukan tiga atau empat trip per hari. Namun pada kenyataannya yang beroperasi sehari-hari hanya 18-20 kapal. Bahkan ketika antrean panjang yang terjadi pada Juli hingga September lalu, sempat hanya 14 kapal yang beroperasi sehingga terjadi penumpukan. Rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS) membumbungkan asa akan perbaikan sistem transportasi Indonesia terutama antara pulau Sumatera dan Jawa.

Lama waktu penyeberangan antara Merak-Bakauheni selama dua hingga tiga jam, bahkan lebih disaat pasang, sangat tidak efisien.. Itu pun belum termasuk waktu antrean menunggu masuk ke lambung kapal. Keterlambatan dan gangguan pada beberapa kapal akan menyebabkan penumpukan yang sangat parah dan menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Kondisi penyeberangan akan makin parah ketika terjadi permintaan kenaikan seperti pada masa-masa lebaran.

Rencana pembangunan JSS akan memperpendek waktu tempuh penyeberangan antara Jawa-Sumatera. Waktu tempuh bisa dipersingkat menjadi hanya sekitar 45 menit hingga satu jam dengan batas kecepatan jalan tol hingga 80km/jam.
Kekahawatiran matinya jalur ferri, jika JSS beroperasi, tidak perlu dikhawatirkan. Masih banyak daerah di Indonesia, terutama Indonesia bagian timur, yang membutuhkan penambahan kapal ferri. Sebut saja jalur Ketapang-Gilimanuk, daerah-daerah di Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara maupun Papua.

Teknologi Tinggi
Kekahawatiran bahaya yang mengintai dari rencana pembangunan dan pengoperasin JSS ini dijawab dengan teknologi tinggi yang akan diterapkan. Jalur jembatan yang ada pada daerah tremor (patahan) dan daerah gempa zona 1, disiasati dengan menerapkan kontruksi tahan gempa. Bahkan menurut Prof Dr Ir Wiratman Wangsadinata dari Wiratman & Associates, teknologi tinggi yang akan diterapkan pada jembatan diharapkan mampu untuk menahan gempa dengan kekuatan 9 pada skala richter (SR), bahkan lebih dari itu. Bahaya tsunami juga bisa dihindari dengan ketinggian jembatan mencapai 70 meter sekaligus juga tidak mengganggu jalur pelayaran internasional di selat itu.

Rencana maha karya anak bangsa senilai Rp90,2 trilliun ini pun direncanakan akan memecahkan rekor jembatan dengan bentangan terpanjang di dunia (longest bridge span) yaitu sepanjang 3,5 kilometer antara-Pulau Ular dan Pulau Sangiang. Saat ini bentang terpanjang ada di Jembatan Selat Messina, Italia, sepanjang 3,3 kilometer dan Jembatan Akashi-Kaikyō di Jepang dengan panjang Bentang 1,99 kilometer.

Namun sebagian pihak mempertanyakan jumlah anggaran yang disedot untuk pembangunan JSS. Nilai Rp90,2 triliun tampaknya sulit dipenuhi jika hanya pemerintah yang menanggung. Tak salah jika pemerintah akhirnya memikirkan untuk merangkul investor.
Hal ini pernah dilakukan pemerintah Italia dalam membangun Jembatan Selat Messina yang tadinya diprotes banyak warganya karena menghabiskan banyak uang negara.
Pemerintah mengakalinya dengan cara membagi dua biaya pembangunan dengan swasta dan memberikan konsesi dalam bentuk hak operasi pada pihak swasta.Namun pemerintah diharapkan tidak hanya mengutamakan kepentingan bisnis semata. Karena, proyek ini akan berdampak langsung ke perekonomian negara terutama kedua pulau tersebut.

Rencana penerapan tarif harus diawasi dengan ketat oleh pemerintah. Berdasarkan hasil studi pra kelayakan pada 1997 tarif akan berkisar pada 1,5 kali tarif tol. Perkembangan terakhir menyebutkan bahwa tarif yang akan diterapkan nantinya adalah 2 kali tarif tol. Batas waktu konsesi pengelolaan juga jangan sampai hanya menguntungkan pengusaha saja.

Proyek ini merupakan yang terbesar di Indonesia dan memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit (lihat grafis). Sebelumnya pemerintah melaksanakan proyek pembangunan jembatan Surabaya-Madura (Suramadu) yang sampai saat ini pengerjaannya tinggal 1.387 meter lagi dari total 5,4 km. Proyek ini sendiri diresmikan proses pengerjaannya pada akhir masa pemerintahan presiden Megawati Soekarnoputri dan sudah mencapai target penyelesaiannya yaitu pada tahun ini. Proyek ini dijadwal ulang untuk selesai pada 2008.Kesabaran masyarakat mutlak diperlukan untuk menunggu rampungnya pengerjaan proyek ini. Namun bukan berarti masyarakat harus berpangku tangan menunggu proyek ini selesai. Masyarakat harus rajin mengkritisi tiap perkembangan proyek ini agar hasilnya sesuai yang kita harapkan. (pangeran ahmad nurdin)

Dimuat pada Harian Seputar Indonesia edisi 8 Oktober 2007

Read More..

Merawat Bumi, Meraup Devisa

Bencana mengintip di balik pemanasan global yang kian parah. Indonesia memiliki potensi untuk mengambil keuntungan dari fenomena ini sekaligus beraksi menyelamatkan bumi.

Tidak banyak yang menyorot kehadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di sidang komisi mitigasi dalam High Level Event on Climate Change di New York pada Senin (24/9) lalu. Pada sidang komisi tersebut, Presiden SBY mengharapkan para negara maju untuk lebih berusaha menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Emisi GRK dianggap bisa menyengsarakan negara berkembang yang tidak secara langsung menikmati kemajuan industri negara maju. Presiden SBY juga mengharapkan harga kredit karbon dapat dikatrol ke posisi yang lebih baik. Pernyataan tersebut terkait dengan harga certified emission reductions (CER) karbon yang masih labil, padahal Indonesia memiliki potensi besar untuk menggali pemasukan dari program itu.


Sidang komisi tersebut merupakan persiapan untuk sidang Confrence of the Parties (COP) ke-13 yang akan dilaksanakan di Bali pada 3-14 Desember 2007. Sidang ini akan membahas mengenai perubahan iklim dunia. COP merupakan kelanjutan dari progran yang dilakukan oleh United Nations Framework Covention on Climate Change (UNFCC). Indonesia merupakan anggota dalam forum ini juga sekaligus peratifikasi protokol Kyoto yang merupakan tindak lanjut dari program pertemuan tersebut

Komitmen negara-negara maju untuk mengurangi emisi GRK-nya membawa harapan akan perbaikan lingkungan bumi yang kian rusak. Bagi negara-negara berkembang komitmen tersebut bisa berarti kesempatan baru, yaitu pasar karbon yang telah dilegalkan oleh protokol Kyoto.

Sebagai negara berkembang dan memiliki sumber daya alam terbarukan serta lahan hutan potensial yang sangat luas, Indonesia jelas memiliki potensi sangat besar untuk menjadi pemasok utama pasar karbon dunia. Program lingkungan yang dilakukan Indonesia sebenarnya bisa dimanfaatkan sebagai sumber pemasukan yang cukup menggiurkan bagi pemerintah. Kebutuhan negara maju yang telah terikat dalam pernyataan pengurangan emisi dapat dijadikan ladang bisnis bagi negara berkembang sekaligus menyegarkan bumi yang makin sesak dan tidak nyaman ini.

Kesempatan tersebut datang lewat mekanisme pembangunan bersih (MPB) atau clean development mechanism (CDM) yang merupakan salah satu isi dari protokol Kyoto dan telah dilegalkan oleh Pemerintah Indonesia dalam Undang-Undang No 17/2004 tentang Ratifikasi Protokol Kyoto. Peraturan tersebut juga dikukuhkan oleh Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 206/2005.


Mekanisme ini merupakan salah satu cara negara industri maju yang masuk dalam Lampiran 1 (annex 1) Protokol Kyoto untuk menepati janji pengurangan emisi mereka. Dalam mekanisme ini diatur cara negara maju untuk mengurangi emisi gas rumah kaca ke atmosfer bumi tanpa mengurangi emisi dari kegiatan industri mereka. Hal ini yang seringkali digunakan oleh para negara industri, agar tidak perlu melakukan penurunan emisi sangat besar pada industri di negaranya yang bisa berdampak langsung pada perekonomian negara mereka. Mereka dapat membeli poin atau kredit penurunan emisi karbon dari proyek ramah lingkungan di negara berkembang. Satu kredit karbon atau CER setara dengan potensi pengurangan emisi satu ton karbon.

Potensi tersebut akhirnya melahirkan pasar karbon dunia dan banyak pelaku yang “bermain” di dalamnya. Berdasarkan perhitungan National Strategy Studies (NSS), pasar karbon dunia diperkirakan berada pada kisaran 1.250 juta ton per tahun. Potensi ini sangat menggiurkan dari segi bisnis. Permintaan tersebut akan makin bertambah karena industri di negara maju tak dapat direm perkembangannya sehingga model kompensasi emisi ini akan terus berkembang.

Potensi proyek-proyek MPB tersebut ada di sektor energi yaitu pembangunan proyek-proyek energi terbarukan (renewables) pembangkit listrik tenaga air, sel surya, bio -fuel, tenaga angin, dan panas bumi. Selain itu, proyek-proyek efisiensi dan konservasi energi (yang dapat diterapkan khususnya di sektor transportasi dan energi), dapat pula ditawarkan sebagai proyek MPB untuk menghasilkan manfaat ekonomi.
Proyek kehutanan juga bisa dimasukkan dalam potensi pemasukan melalui MPB. Contoh proyek kehutanan yang dapat dijadikan MPB adalah reforestasi (pengembangan kembali wilayah hutan yang telah rusak), Hutan Tanaman Industri, agroforestri, hutan kemasyarakatan (social forestry), dan penghijauan. Potensi penyimpanan karbon pada proyek-proyek itu berkisar 50-300 ton karbon per hektare (NSS).

Indonesia saat ini memiliki potensi (MPB) dalam pasar karbon sebesar 25 juta ton CO2 per tahun atau 125 juta ton CO2 hingga 2012 yang merupakan akhir komitmen protokol Kyoto. Ini berarti sebesar 2,1% potensi pasar CER dunia, bahkan jika dimasukkan peresapan karbon melalui hutan maka angka tersebut akan bergeser ke 5%. Jumlah ini merupakan terbesar kedua di Asia setelah China.

Jika keseluruhan CER tersebut dijual pada harga kuota sebesar USD1,83 (Rp16.500) per ton gas setara karbon, yang merupakan harga batas bawah, maka akan menghasilkan USD228 juta (Rp2,052 triliun) di akhir 2012. Dari jumlah tersebut biaya yang dikeluarkan untuk biaya adaptasi sebesar USD4,6 juta (Rp41,4 miliar). Lalu biaya yang dikeluarkan untuk melakukan berbagai program MPB sebesar USD130 juta (Rp1,17 triliun). Total pemerintah Indonesia akan mengantongi uang sebanyak USD94 juta (Rp846 miliar) selama masa MPB. Angka tersebut atau sekitar USD24 juta (Rp216 miliar) per tahun.

Keuntungan akan lebih besar jika pemerintah dapat menemui harga yang cocok di pasar. Contoh keberhasilan program ini dapat kita lihat di Meksiko. Sebanyak 400 petani skala kecil dan 20 komunitas menanam pohon di sekitar lahan pertanian sebagai penyerap karbon dibantu suatu organisasi lingkungan hidup lokal yang bertindak sebagai perantara. Mereka berhasil menjual kredit karbon sebesar 17 ribu ton karbon per tahun seharga USD10 dan USD12 per ton pada International Federation of Automobiles.

Penghasilan mereka dari penjualan CER sekitar USD170 ribu (Rp1,530 miliar). Bahkan Face Foundation, suatu organisasi nirlaba independen, berhasil mengembangkan lima portofolio proyek di lima negara yang mencakup 135 ribu hektare yang menyerap 21 juta ton karbon. Lembaga nirlaba ini lalu menginvestasikan keuntungannya dalam penanaman kembali hutan di berbagai negara agar bumi makin nyaman sesuai tujuan mereka.

Butuh Kawalan Pemerintah
Selama ini masyarakat umum masih tidak tahu mengenai proyek ini. Bahkan masyarakat cenderung apatis dan menganggap campur tangan pihak asing dalam permasalahan lingkungan Indonesia dianggap sebagai upaya asing untuk “mengobok-obok” negara ini. Padahal mekanisme ini jelas-jelas nyata ada dan berpotensi menghasilkan devisa dalam jumlah besar. Keseriusan pemerintah sangat diperlukan dalam mensosialisasikan proyek ini. Pemerintah harus mau menyingsingkan lengan baju untuk mengkampanyekan proyek yang bisa menyelamatkan bumi sembari meraup devisa.

Bantuan teknologi mutlak harus dilakukan pemerintah. Insentif juga menjadi syarat karena proyek ini biasanya mencakup penggunaan teknologi tinggi. Pemerintah juga harus memberikan kondisi investasi yang kondusif. Karena bagaimanapun juga investasi dalam bentuk pengembangan lingkungan ini menghadapi kondisi ketergantungan yang sangat tinggi terhadap alam. Pasar CER yang masih labil membuat pemerintah harus menjajaki kemungkinan mencapai dasar harga yang menguntungkan.

Pembentukan situasi investasi yang kondusif ini dapat dilakukan dalam bentuk menyiapkan perangkat hukum yang memberikan kenyamanan dan ketenangan baik bagi masarakat, investor, maupun negara maju yang membeli CER Indonesia. Mari kembalikan bumi kita yang bersih dan menyenangkan. (pangeran ahmad nurdin)


Dimuat pada Harian Seputar Indonesia edisi 22 Oktober 2007

Read More..

Protokol Kyoto, Lidah Bercabang AS dan Australia

Protokol Kyoto merupakan sebuah perjanjian Internasional yang mengharuskan negara maju untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) antara 2008-2012 dalam kisaran tertentu yang disepakati. Setiap negara maju yang meratifikasi protokol ini setuju untuk memenuhi target pengurangan emisinya.
Target protokol ini mencakup 6 jenis gas rumah kaca utama yaitu karbondioksida (CO2), metana (CH4), nitroksida (N2O), gas-gas hidrofluorokarbon (HFCs), gas-gas perfluorokarbon (PFCs), dan sulfurheksafluorida (SF6). Berbagai gas berbahaya tersebut disinyalir telah terpapar melebihi batas yang mampu ditampung alam sehingga menciptakan ketidakseimbangan dalam bentuk GRK dan melubangi ozon sehingga menyebabkan pemanasan global.
Namun, Amerika Serikat (AS) dan Australia, sekalipun telah menandatangani, ternyata menyatakan tak akan mengikuti perjanjian tersebut. Bahkan Prsiden George W Bush pada 2001 lalu menyatakan tak akan meratifikasi kesepakatan tersebut. Padahal AS merupakan penyumbang 720 juta ton GRK per tahun setara karbondioksida. Angka tersbut setara dengan 24% emisi total dunia. Bahkan dalam “Mandat Berlin” yang merupakan COP pertama, AS terhitung paling getol mengkampanyekan masalah emisi ini.
Australia pun segendang sepenarian dengan AS. Keduanya beralasan kerugian ekonomi yang mungkin ditimbulkan program tersbut membuat mereka khawatir. Amerika khawatir akan kehilangan USD440 milliar per tahun dengan program efisiensi ini. Selain itu Amerika juga merasa iri karena China tak dimasukkan ke dalam negara industri maju, padahal Amerika menganggap China sebagai kompetitor bisnisnya. (pangeran ahmad nurdin)

Dimuat pada Harian Seputar Indonesia edisi 22 Oktober 2007

Read More..

Archives


M S S R K J S